Para peneliti dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, berhasil mengembangkan alat Oxygen Concentrator untuk membantu pasien Covid-19. Ketua tim riset Fadlilatul Taufany dari Departemen Teknik Kimia ITS menjelaskan prinsip kerja dan evaluasi dalam pengembangan alat tersebut.
Menurut Taufany yang juga dosen di Fakultas Teknologi Industri dan Rekayasa Sistem ITS itu, prinsip kerja Oxygen Concentrator adalah mengambil udara dan memurnikannya dari kandungan nitrogennya melalui teknologi pressure swing adsorption (PSA).
“Untuk digunakan oleh orang-orang yang memerlukan oksigen medis karena tingkat rendah oksigen dalam darah mereka,” ujar dia saat dihubungi Jumat malam, 6 Agustus 2021.
Proses kerjanya, mengambil udara dari udara bebas dan melalui filter. Lalu mengompresi udara tersebut, sementara mekanisme pendingin terus berjalan agar menjaga konsentrator dari overheating, dan meningkatkan performa PSA.
Selanjutnya, proses menghapus/menangkap nitrogen udara melalui filter zeolite PSA, kemudian menyesuaikan dan pengaturan tekanan, serta memberikan oksigen yang telah dikonsentrasikan (93 ± 3 persen) melalui hidung dengan masker khusus. “Oxygen Concentrator ini menghasilkan hingga 95,5 persen oksigen pekat,” katanya.
Konsentrator oksigen yang biasanya menggunakan teknologi PSA ini, digunakan sangat luas untuk penyediaan oksigen dalam aplikasi perawatan kesehatan, terutama di mana oksigen cair atau bertekanan terlalu berbahaya atau tidak nyaman, seperti di rumah atau di klinik portable. “Untuk keperluan lain ada juga konsentrator yang berbasis pada teknologi membran,” tutur Taufany.
Namun, alat yang dibuat tim riset konsorsium beranggotakan dosen dan peneliti lintas Departemen dan Fakultas di ITS ini masih memiliki kelemahan. Di antaranya belum ada unit air dryer untuk mengambil moisture udara hingga dew point – 20 °C, yang membahayakan kinerja zeolit PSA, dan kurang sesuai pada daerah tropis.
Taufany yang merupakan peraih Ph.D Nanoteknologi dari National Taiwan University of Science and Technology itu menambahkan kelemahan lainnya, yaitu belum ada fitur nebulizer yang pada kondisi tertentu diperlukan saat penanganan. Selain itu masih bersifat personal use, kurang fleksibel pada penanganan klaster keluarga.
“Serta belum ada fitur IoT based on hand-held respiratory-rate counter dan pulse-oximetry device yang membantu mendeteksi/mengamati kadar oksigen dalam darah selama penanganan,” tutur Taufany.